Kas negara merupakan aspek krusial dalam menjaga stabilitas sebuah pemerintahan. Tanpa dana yang memadai, program dan kebijakan negara akan terhambat, dan ini mengarah pada berbagai masalah dalam pengelolaan negara.
Jika kita melihat kembali sejarah Indonesia, khususnya sekitar delapan dekade silam, kita menemukan masa-masa sulit ketika kas negara hampir kosong. Ini adalah saat di mana Indonesia sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda.
Situasi yang sulit tersebut mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berani, bahkan berisiko, seperti menjual sumber daya alam secara diam-diam. Langkah ini diambil dengan harapan bisa mengisi kembali kas negara yang kritis.
Menyusuri Sejarah Awal Pengelolaan Keuangan Negara
Setelah Indonesia merdeka, kondisi keuangan negara berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Para pemimpin berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa sumber daya keuangan untuk menjalankan roda pemerintahan hampir tidak ada.
Mereka harus mencari cara untuk mendapatkan dana guna membiayai berbagai kebutuhan, termasuk perlawanan terhadap penjajahan yang masih berlangsung. Keputusan untuk menjual sumber daya, termasuk emas, menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia.
Penting untuk dicatat bahwa tindakan ini bukan tanpa resiko. Penjajah Belanda juga mengincar sumber daya alam tersebut untuk membiayai upaya perang mereka. Oleh karena itu, tindakan menyelundupkan menjadi semakin umum dalam kondisi seperti ini.
Praktik Penyelundupan Emas di Masa Perjuangan
Salah satu lokasi utama ekspor emas adalah dari tambang Cikotok di Banten, di mana emas yang dihasilkan kemudian diolah dan dikirim ke Jakarta. Proses pengiriman yang dilakukan secara rahasia sangat penting untuk menghindari perhatian Belanda.
Ketika ibu kota berpindah ke Yogyakarta, pengiriman emas dilakukan dengan menggunakan kereta api. Awalnya, sekitar 5 ton emas berhasil dibawa ke tempat yang lebih aman untuk dibeli sebagai alat perjuangan.
Setelah Agresi Militer II oleh Belanda, situasi di Yogyakarta semakin genting. Pejuang pun kini harus memindahkan sisa emas yang ada, bernilai sekitar 7 ton, ke lokasi yang lebih aman di Sumatera Barat.
Dari Yogyakarta Menuju Makau: Perjalanan yang Berisiko
Perjuangan untuk menyelamatkan emas tersebut dilakukan dengan penuh perhitungan. Emas diangkut dengan truk dan gerobak sapi yang ditutupi dedaunan agar tidak terlihat oleh mata-mata Belanda.
Pemberangkatan dimulai dari kantor pusat Bank Nasional Indonesia di Yogyakarta, menempuh perjalanan sejauh sepuluh kilometer menuju Bandara Maguwo. Sesampainya di bandara, emas tersebut dikirim menggunakan pesawat tempur.
Perhentian sementara di Filipina menjadi bagian dari strategi agar aman sampai di tujuan akhir di Makau, yang saat itu dikenal sebagai pusat judi dunia. Ada harapan besar bahwa emas yang dijual di sana dapat mendatangkan keuntungan.
Mahalnya Emas dan Keberhasilan di Makau
Setibanya di Makau, emas seberat 7 ton berhasil terjual dengan harga yang sangat signifikan, mencapai Rp140 juta. Pada masa itu, angka ini sangat besar, dan jika dihitung dengan nilai sekarang, bisa mencapai triliunan rupiah.
Hasil dari penjualan ini menjadi sangat berharga bagi pemerintah Indonesia yang sedang berjuang. Dana tersebut digunakan untuk mendukung diplomat di luar negeri serta operasional kantor perwakilan Indonesia.
Kesuksesan ini tidak hanya memberikan keuntungan finansial tetapi juga meningkatkan diplomasi Indonesia di mata dunia internasional. Berkat usaha para diplomat, negara ini berhasil mendapatkan pengakuan internasional yang penting.