Kenaikan harga beras terus menjadi persoalan yang hangat dibicarakan di berbagai daerah Indonesia. Hal ini menciptakan dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat, terutama mereka yang bergantung pada beras sebagai sumber pangan utama.
Berdasarkan data terbaru, pada Agustus 2025, harga beras mengalami lonjakan signifikan di 214 kota dan kabupaten di Indonesia. Meskipun produksi padi nasional terbilang baik, tantangan terbesar justru terletak pada aspek distribusi dan logistik yang dinilai masih belum efisien.
Pengamat pangan dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Lilik Sutiarso, menegaskan bahwa kondisi produksi padi di Indonesia tidak menjadi masalah utama. Menurutnya, data dari beberapa lembaga internasional dan nasional menunjukkan angka yang selaras, mengindikasikan bahwa ketersediaan beras seharusnya tidak menjadi masalah.
Faktor Distribusi dan Geografis dalam Masalah Harga Beras
Prof. Lilik menjelaskan bahwa faktor geografis Indonesia sebagai negara kepulauan sangat mempengaruhi ongkos distribusi beras. Daerah-daerah yang jauh dari sentra produksi padi harus menanggung biaya logistik yang lebih tinggi, sehingga berpengaruh pada harga di tingkat konsumen.
Dia menambahkan bahwa daerah yang kekurangan produksi harus bergantung pada suplai dari daerah yang surplus. Namun, sistem distribusi yang ada saat ini masih belum efisien, sehingga menciptakan disparitas harga antar wilayah.
Contoh yang jelas terjadi di Kabupaten Boalemo, Gorontalo, yang mengalami kenaikan harga hampir 9% akibat ketergantungan pada pasokan luar daerah dan tingginya biaya transportasi. Sementara itu, Kabupaten Humbang Hasundutan di Sumatera Utara juga mengalami hal serupa karena merupakan wilayah dataran tinggi yang lebih banyak memproduksi hortikultura dibandingkan padi.
Dampak Musim Kemarau dan Akses Distribusi yang Sulit
Di Jawa Timur, misalnya, Kabupaten Probolinggo mengalami lonjakan harga beras akibat pengaruh musim kemarau yang mengurangi produksi lokal, meskipun terletak di wilayah lumbung padi nasional. Hal yang sama terlihat di kawasan timur Indonesia, seperti Kabupaten Paniai, Papua Tengah, yang terkena dampak kesulitan akses distribusi di daerah pegunungan.
Di sisi lain, Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua Barat juga tercatat mengalami kenaikan harga beras karena kondisi geografis yang mempersulit jalur distribusi. Selain itu, wilayah kepulauan seperti Kabupaten Seram Bagian Timur di Maluku tak kalah menghadapi tantangan serupa, di mana transportasi laut masih menjadi pilihan utama untuk distribusi.
Semua kondisi ini menegaskan pentingnya perbaikan dalam sistem distribusi beras agar jarak antara produsen dan konsumen dapat dipersempit. Hal ini dinyatakan oleh Prof. Lilik yang melihat mekanisme logistik di Bulog sebagai salah satu potensi yang baik, meskipun memerlukan kolaborasi lebih lanjut untuk efisiensi yang lebih baik.
Pentingnya Peran Badan Pangan Nasional dalam Distribusi Beras
Menurut Prof. Lilik, perbaikan dalam sistem distribusi tidak bisa sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian saja. Masalah distribusi dan logistik harus ditangani oleh lembaga yang memiliki mandat penuh di bidang pangan, yaitu Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Bapanas seharusnya berperan sebagai pengorkestra dalam menyelesaikan masalah distribusi pangan, agar harga beras tidak melonjak secara signifikan. Koordinasi antarwilayah menjadi isu vital yang perlu segera ditangani untuk memastikan kestabilan harga.
Lebih lanjut, Prof. Lilik menekankan pentingnya penguatan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan yang dijalankan oleh Perum BULOG. Ini harus diintegrasikan dengan peran pemerintah daerah dan sektor swasta untuk mewujudkan sistem distribusi pangan yang lebih efektif.
Pandangan Masa Depan untuk Stabilitas Harga Beras di Indonesia
Indikator tata kelola perberasan yang baik bukan hanya terletak pada transparansi distribusi, tetapi juga pada penekanan ongkos logistik. Cadangan beras pemerintah yang bisa dimobilisasi dengan tepat sangat penting agar kestabilan harga dapat terjaga.
Sebagai penutup, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa harga beras pada Agustus 2025 terus menunjukkan tren kenaikan di berbagai daerah, tetapi terdapat sinyal positif dari perbaikan indeks kesejahteraan petani. Ini mengindikasikan bahwa meskipun ada lonjakan harga, ketersediaan beras seharusnya mencukupi.
Fokus utama ke depan adalah penyelesaian masalah distribusi dan logistik yang harus diatur oleh Bapanas. Dengan pendekatan yang tepat, manfaat dari produksi nasional diharapkan bisa dirasakan lebih luas oleh masyarakat, sembari tetap menjaga kesejahteraan petani lokal.