Kebebasan dalam menyuarakan pendapat sering kali membawa konsekuensi yang tidak terduga, terutama dalam konteks politik. Hal ini terjadi pada Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang mengalami momen menyakitkan ketika sejumlah demonstran menghina menteri-menterinya dalam aksi protes di tahun 1966.
Momen tersebut menjadi titik balik penting dalam sejarah Indonesia, terutama terkait hubungan antara pemerintah dan mahasiswa. Saat itu, para mahasiswa turun ke jalan untuk menyampaikan tuntutan mengenai kondisi negara yang semakin memburuk.
Pada akhir 1965, situasi ekonomi Indonesia mulai menjadi perhatian serius. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi dan masyarakat merasakan dampaknya secara langsung. Di tengah ketidakpastian ini, demonstrasi besar-besaran muncul sebagai wujud ketidakpuasan publik.
Dalam konteks tersebut, mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi mulai bersuara. Aksi mereka adalah bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai lamban dalam menangani masalah krisis yang menggejala. Mereka pun menyuarakan tiga tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tritura, singkatan dari Tri Tuntutan Rakyat.
Setiap tuntutan yang diusulkan mahasiswa menggambarkan keadaan darurat yang dialami rakyat. Pertama, mereka menyerukan pembubaran Partai Komunis Indonesia yang dianggap sebagai salah satu penyebab ketidakstabilan. Kedua, mereka menuntut perombakan kabinet yang dinilai tidak efektif. Ketiga, mereka mendesak penurunan harga bahan pokok yang terus melambung.
Kekesalan Mahasiswa dan Respons Soekarno
Selama aksi demonstrasi, mahasiswa meluapkan emosi mereka dengan cara-cara yang keras. Kata-kata umpatan mengalir di jalanan Jakarta, menggambarkan kekecewaan mendalam terhadap pemerintah. Hal ini terungkap dalam kesaksian Soe Hok Gie, yang mencatat terekamnya kekesalan mahasiswa dalam poster-poster yang ditempelkan di berbagai sudut kota.
Poster-poster tersebut memuat ungkapan kasar yang ditujukan kepada menteri-menteri Soekarno, menggambarkan kondisi frustrasi yang melanda mahasiswa. Salah satu contohnya adalah ungkapan “Ganyang menteri Goblok!” yang memperlihatkan ketidakpuasan yang ekstrem terhadap kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, para mahasiswa tidak ragu menunjukkan ketidaksetujuan mereka dengan cara yang provokatif.
Hal ini mendapatkan perhatian Soekarno, yang kemudian merespons dengan mengundang para mahasiswa dalam sidang kabinet. Di sinilah Soekarno mulai mengungkapkan perasaannya. Dia mengaku sangat terdampak oleh kata kasar yang digunakan mahasiswa, mengartikan hal tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap orang tua.
Proses Reshuffle dan Puncak Ketegangan
Di tengah gejolak tersebut, Soekarno mengambil langkah yang cukup strategis dengan melakukan reshuffle kabinet pada awal tahun 1966. Langkah ini dianggap belum memadai oleh mahasiswa, karena kabinet yang baru masih melibatkan sejumlah tokoh terkait Partai Komunis. Akibatnya, gelombang demonstrasi kembali muncul dan ketidakpuasan masyarakat semakin meningkat.
Mahasiswa merasa bahwa tindakan Soekarno hanya sebuah alibi tanpa substansi. Umpatan terus bermunculan, dan protes mereka semakin meluas. Berbagai elemen masyarakat mulai bergabung dalam unjuk rasa, yang menunjukkan bahwa rasa ketidakpuasan sudah merata di kalangan rakyat. Dalam suasana yang semakin memanas, pemerintah harus segera mengambil tindakan.
Puncaknya terjadi pada bulan Februari. Permintaan mahasiswa untuk dibubarkannya unsur-unsur PKI dalam pemerintahan tidak pernah terwujud, sehingga demonstrasi menjadi semakin tak terkendali. Ketegangan ini memuncak hingga memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar.
Keluarnya Supersemar dan Perubahan Struktur Kekuasaan
Surat Perintah Sebelas Maret menjadi momen penting dalam sejarah Indonesia. Dengan dikeluarkannya surat tersebut, Soekarno memberikan mandat kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil alih pengelolaan keamanan dan ketertiban negara. Ini menandai sebuah transisi yang signifikan dalam struktur kekuasaan di Indonesia, di mana Soekarno yang sebelumnya sangat dominan mulai tergeser.
Gelombang protes yang awalnya bersifat demokratis berujung pada perubahan kekuasaan yang lebih otoritarian. Soekarno, yang dikenang sebagai pendiri republik, harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kontrol atas pemerintahan tidak lagi sepenuhnya berada di tangannya. Di sisi lain, Soeharto mulai membangun basis kekuatan politik yang lebih tangguh.
Dalam retorika yang sama, pergeseran ini menggambarkan konsekuensi dari kebebasan bersuara yang tanpa batas. Meskipun aksi demonstrasi memiliki tujuan untuk mencari keadilan sosial dan pemenuhan hak rakyat, dalam prosesnya sering kali menimbulkan reaksi berantai yang tidak terduga. Dinamika antara pemerintah dan mahasiswa di era tersebut menunjukkan bahwa perubahan dan ketidakpuasan sering kali berjalan beriringan.