Presiden Indonesia, Soekarno, terlibat dalam sebuah momen yang menunjukkan kesederhanaan dan kedekatannya dengan rakyat. Dalam sebuah peristiwa yang terjadi segera setelah proklamasi kemerdekaan, ia terlihat menyantap sate di pinggir jalan, sebuah tindakan yang mencerminkan karakternya yang merakyat.
Pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi, Soekarno menghadiri sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di dalam sidang tersebut, berbagai hal penting dibahas, termasuk pengangkatan presiden dan wakil presiden serta pembentukan struktur pemerintahan baru.
Setelah melewati sidang yang panjang dan melelahkan, Soekarno pulang dengan sangat lapar. Dalam perjalanan menuju rumah, ia melihat pedagang sate dan keputusan pun diambil: ia tidak hanya ingin membeli sate, tetapi juga ingin merasakan momen tersebut seperti orang biasa.
Rasa Lapar yang Menghadirkan Kenangan Baru
Dengan penuh semangat, Soekarno memanggil pedagang sate tersebut dan memesan lima puluh tusuk sate. Dalam autobiografinya, ia mengenang momen bersejarah ini dengan bangga dan ceria, menampakkan bagaimana kehidupan pelayan rakyat berjalan tanpa jarak sosial.
Anehnya, sate yang dipesan tidak dibawanya pulang untuk dinikmati di rumah. Ia memilih untuk makan di tempat, jongkok di samping pedagang sate, tidak merasa risih sedikit pun meskipun berada di dekat got dan tempat sampah.
“Itulah seluruh pesta perayaan terhadap kehormatan yang kuterima,” katanya, memberi gambaran bagaimana ia melihat momen sederhana itu sebagai simbol dari tugas barunya sebagai presiden.
Pembuktian Komitmen pada Rakyat
Momen tersebut mencerminkan komitmen Soekarno terhadap kesederhanaan dan keinginan untuk tidak terpisah dari rakyat. Selama menjabat sebagai presiden, banyak tindakan yang ia tunjukkan meneguhkan pandangan ini.
Dalam kunjungan resmi ke luar negeri, Soekarno pun tidak luput dari perhatian. Suatu ketika, seorang duta besar menilai pakaian piyama Soekarno yang lusuh, bahkan hingga robek. Merasa kasihan, duta tersebut menghadiahkan baju tidur baru untuknya.
Soekarno, sambil tersenyum, melontarkan candaan getir tentang statusnya sebagai seorang kepala negara yang masih mengalami kesulitan. “Adakah Kepala Negara yang melarat seperti aku?” ujarnya, menunjukkan bahwa kesulitan bukanlah hal yang asing baginya.
Kemiskinan yang Dimaknai Dalam Pengorbanan
Kemiskinan yang dialami Soekarno mencerminkan dedikasinya kepada rakyat. Saat rakyat hampir menggalang dana untuk membelikannya rumah, ia langsung menolak dengan tegas. Ia merasa tidak ingin merepotkan rakyat yang telah berjuang keras untuk kemerdekaan.
Ada nuansa kesedihan dalam sikapnya, mengingat dia juga bagian dari perjuangan tersebut. Menyadari posisi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin, ia bertekad untuk tidak memberi beban lebih kepada masyarakat.
Melalui semua peristiwa ini, Soekarno menunjukkan bahwa meskipun menduduki posisi tinggi, ia tetap manusia biasa yang dapat merasakan kesedihan dan kesulitan layaknya rakyatnya. Ini merupakan bagian dari identitas yang terus ia bawa sepanjang hidupnya.