Dalam perjalanan pemerintahan yang baru satu tahun berlangsung, Presiden Prabowo Subianto mengklaim bahwa Indonesia akan segera mencapai swasembada pangan, terkhusus beras, di bawah kendali Menteri Pertanian. Capaian ini merupakan langkah signifikan bagi negara yang selama ini mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Sejarah mencatat bahwa keberhasilan swasembada pangan bukanlah hal baru di Indonesia. Di masa lalu, tepatnya pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia berhasil bertransformasi dari negara pengimpor beras menjadi mandiri dalam penyediaan kebutuhan pangannya.
Dari situ, kita bisa melihat bagaimana kondisi yang dulu memaksa Indonesia bergantung pada pasar luar negeri dapat berbalik arah menjadi negara dengan kemampuan menyuplai beras secara mandiri. Cerita ini bukan hanya tentang angka produksi, tetapi juga tentang kebijakan yang diambil dan dukungan dari berbagai pihak.
Membangkitkan Sektor Pertanian Melalui Kebijakan yang Tepat
Ketika Soeharto berkuasa, tantangan yang dihadapi sektor pangan sangat besar. Harga bahan pokok melambung dan kegagalan panen terjadi di berbagai daerah, menjadikan Indonesia terpaksa mengimpor dalam jumlah besar. Ini menjadi ironi bagi negara yang dikenal sebagai negara agraris.
Puncak dari kesulitan ini terjadi pada tahun 1977, ketika Indonesia terpaksa mengimpor sebanyak dua juta ton beras, setara dengan seperempat dari total ekspor beras dunia pada waktu itu. Kebijakan ini, meski terpaksa, menunjukkan kondisi darurat yang tidak bisa diabaikan.
Namun, memasuki awal 1980-an, perubahan mulai terjadi. Melalui program intensifikasi pertanian yang komprehensif, pemerintah melakukan berbagai inisiatif untuk meningkatkan produksi beras, mulai dari pembangunan irigasi hingga penyediaan bibit unggul. Hasilnya, produksi beras meningkat pesat dan Indonesia mencapai swasembada pada tahun 1984.
Pengakuan Internasional dan Dampak pada Masyarakat
Keberhasilan ini tidak hanya diakui secara lokal, tapi juga mendapat pengakuan internasional dari FAO. Pada tahun 1985, Presiden Soeharto diundang untuk berbicara di hadapan banyak negara mengenai pencapaian Indonesia dalam sektor pangan. Dalam pandangannya, keberhasilan ini merupakan hasil kerja keras kolektif seluruh bangsa.
Pada saat yang sama, Soeharto juga menunjukkan kepedulian internasional dengan menyerahkan bantuan 100.000 ton beras bagi korban kelaparan di Afrika. Tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya berfokus pada kebutuhan dalam negeri, tetapi juga pada solidaritas global.
Penghargaan demi penghargaan datang, termasuk medali emas dari FAO yang melambangkan transisi Indonesia dari pengimpor menjadi mandiri. Momen ini bisa dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perekonomian Indonesia.
Dinamika yang Mengubah Arah Kebijakan Pertanian
Meski pencapaian Soeharto di bidang swasembada beras sangat membanggakan, hasil tersebut tidak bertahan lama. Memasuki akhir dekade 1980-an, kebijakan pemerintah mulai bergeser fokus dari pertanian ke industri. Ini mengarah pada pembukaan keran impor beras kembali.
Para peneliti mengamati bahwa saat perekonomian mulai berfokus pada industrialisasi, lahan pertanian banyak yang beralih fungsi. Penurunan investasi di sektor pangan juga menjadi salah satu faktor yang memperburuk keadaan, meninggalkan ketahanan pangan dalam kondisi rentan.
Akibatnya, kebutuhan beras kembali sebagian besar dipenuhi melalui impor. Ini merupakan kemunduran yang cukup signifikan bagi ketahanan pangan negara, walaupun kebijakan tersebut dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi pada waktu itu.














