Pada hari ini, 57 tahun lalu, dua orang Indonesia, Usman Janatin dan Harun Thohir, mengalami nasib tragis di Penjara Changi, Singapura. Mereka menjadi orang Indonesia pertama yang menerima hukuman mati di negara tersebut, setelah terlibat dalam peristiwa yang mengguncang Singapura pada 10 Maret 1965.
Usman dan Harun adalah anggota Korps Komando Operasi (KKO) yang tergabung dalam TNI Angkatan Laut. Mereka bergabung pada 1 Juni 1962 saat Indonesia berada dalam masa konfrontasi dengan Malaysia, yang merupakan sebuah pergulatan politik dan militer yang dipicu oleh kebijakan Presiden Soekarno.
Konfrontasi ini dimulai karena penolakan Soekarno terhadap pembentukan Federasi Malaysia, yang dianggapnya sebagai upaya penjajahan baru. Persepsi ini mengarahkan tindakan militer Indonesia, termasuk misi sabotase di wilayah Singapura yang saat itu masih bagian dari Federasi Malaysia.
Misi yang Mengguncang Singapura pada Maret 1965
Presiden Soekarno beranggapan bahwa munculnya negara baru di sebelah utara Indonesia berpotensi mengancam kedaulatan. Untuk melawan hal ini, rencana operasi militer pun disusun, dan salah satu misinya adalah melakukan sabotase di Singapura.
Pada awal Maret 1965, pihak militer Indonesia mencari tiga sukarelawan untuk melaksanakan misi ini. Usman, Harun, dan seorang rekan mereka, Gani, bersedia untuk terlibat, dengan instruksi untuk melumpuhkan pusat-pusat vital menggunakan bahan peledak.
Dalam pelaksanaannya, pada 8 dan 9 Maret 1965, ketiganya berhasil menyusup ke pusat kota Singapura dengan menyamar sebagai pedagang. Profesi ini dipilih karena mereka dapat bergerak bebas tanpa menarik perhatian aparat keamanan.
Ledakan Menyelamatkan Sebagian, Menghancurkan yang Lain
Rencana awal mereka adalah untuk meledakkan gardu listrik, namun saat pelaksanaan, mereka memilih sasaran yang lebih besar: Macdonald House, sebuah gedung yang terletak di Orchard Road. Keputusan ini diambil untuk menciptakan dampak yang lebih besar terhadap masyarakat Singapura.
Pada 10 Maret 1965, bom yang telah mereka siapkan diletakkan di dalam gedung tersebut, dan tidak lama setelah itu, sebuah ledakan hebat mengguncang kawasan. Akibat dari kejadian tersebut, tiga orang tewas, dan puluhan lainnya terluka dalam insiden yang menjadi salah satu peristiwa terburuk dalam sejarah Singapura pada masa itu.
Setelah melaksanakan misi yang penuh risiko ini, ketiga pria tersebut berusaha melarikan diri dengan perahu ke Batam. Namun, malang bagi mereka, mesin perahu tidak berfungsi dan akhirnya mereka tertangkap oleh pihak berwenang Singapura. Hanya Gani yang berhasil melarikan diri.
Proses Pengadilan dan Akibatnya bagi Usman dan Harun
Usman dan Harun kemudian dijebloskan ke penjara Singapura dan pada 20 Oktober 1966, mereka diadili dan dijatuhi vonis mati. Upaya diplomatik pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan keduanya melalui grasi ditolak, bahkan setelah konfrontasi secara resmi berakhir dan kepemimpinan negara berganti.
Pada 17 Oktober 1968, hukuman mati bagi mereka dilaksanakan di Penjara Changi. Jenazah Usman dan Harun dibawa pulang ke Indonesia, dan mereka diberi penghormatan sebagai pahlawan bangsa. Pemakaman mereka di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dihadiri oleh ribuan orang.
Pemerintah Indonesia pun memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada keduanya melalui Keputusan Presiden No. 050/TK/1968 dan mengangkat pangkat mereka secara anumerta, sebuah penghargaan atas pengorbanan yang mereka tunjukkan.
Perspektif Berbeda Mengenai Usman dan Harun
Namun, pandangan terhadap Usman dan Harun sangat berbeda di kedua negara. Di Indonesia, mereka dikenang sebagai pahlawan yang berjuang untuk negara, sedangkan di Singapura, mereka dianggap sebagai teroris yang mengakibatkan hilangnya nyawa warga sipil.
Peristiwa ini membekas dalam sejarah kedua negara, dan dampak dari insiden tersebut mengguncang hubungan bilateral antara Indonesia dan Singapura. Namun, titik balik hubungan dimulai pada tahun 1973, ketika Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, mengunjungi makam keduanya untuk memberikan penghormatan, yang diharapkan dapat mengakhiri ketegangan.
Meski demikian, pada 2014, Singapura mengecam keputusan TNI Angkatan Laut yang berniat menamai salah satu kapal perangnya dengan nama Usman-Harun, mengingat hal tersebut dapat memicu rasa sakit hati bagi pihak publik di Singapura.














