Pada bulan Mei yang lalu, dalam sebuah pidato di Riyadh, Presiden Amerika Serikat mengumumkan niatnya untuk mencabut sanksi yang dikenakan terhadap Suriah. Pernyataan ini disambut dengan antusiasme, sebagai harapan baru bagi negara yang tengah berjuang untuk bangkit dari dekade konflik berkepanjangan.
Namun, dalam waktu kurang dari tiga bulan, situasi berbalik dramatis ketika pemerintah AS justru memberlakukan tarif perdagangan tertinggi di dunia terhadap Suriah sebesar 41%. Langkah ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai konsistensi kebijakan luar negeri AS terhadap negara yang dilanda perang tersebut.
Menurut laporan terbaru, meskipun hubungan perdagangan antara AS dan Suriah sangat terbatas akibat sanksi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, Suriah masih mampu mengekspor barang senilai USD 11,3 juta ke AS. Di sisi lain, nilai impor dari AS ke Suriah tercatat hanya sekitar USD 1,29 juta pada tahun 2023, menunjukkan defisit perdagangan yang mencolok.
Ketentuan tarif baru ini diambil sebagai bagian dari kebijakan ekonomi yang lebih luas, di mana beban tarif dihitung berdasarkan defisit perdagangan dengan masing-masing negara. Meskipun Presiden belum memberikan komentar spesifik mengenai Suriah, langkah ini menimbulkan kebingungan di kalangan para pengamat internasional.
Pertikaian yang Berkepanjangan dan Dampaknya terhadap Ekonomi Suriah
Suriah, yang telah dilanda perang selama lebih dari sepuluh tahun, saat ini berada dalam keadaan yang sangat rentan. Banyak analis berpendapat bahwa keputusan AS untuk meningkatkan tarif justru akan memperburuk kondisi ekonomi negara tersebut, yang tengah berjuang untuk mengatasi dampak dari konflik berkepanjangan.
Menurut CEO Gulf State Analytics, Giorgio Cafiero, negara ini sangat memerlukan investasi asing untuk memulai proses rekonstruksi. Tanpa investasi yang cukup, peluang untuk memulihkan infrastruktur dan mendukung masyarakat menjadi semakin kecil.
“Tarif yang tinggi ini bukan hanya memberikan beban tambahan, tetapi juga menghalangi kolaborasi yang ada dalam perdagangan,” jelasnya. Kebijakan yang seharusnya mendorong pertumbuhan justru dapat mengakibatkan isolasi lebih jauh bagi Suriah di peta ekonomi internasional.
Pengamat lain juga menggarisbawahi bahwa meskipun sebagian sanksi telah dicabut oleh AS dan beberapa negara lainnya, implementasi tarif baru dapat menimbulkan keraguan bagi investor asing yang ingin memasuki pasar Suriah.
Strategi AS yang Dipertanyakan dalam Menghadapi Suriah
Kebijakan pemerintah AS terhadap Suriah mencerminkan ketidakpastian dalam pendekatan mereka terhadap negara-negara yang mengalami konflik. Penerapan tarif tinggi dapat dilihat sebagai langkah yang menyimpang dari upaya diplomasi yang semestinya bisa dilakukan.
Seiring upaya Suriah untuk beralih ke fase rekonstruksi politik, pengenaan tarif tinggi tampaknya tidak sejalan dengan aspirasi tersebut. Banyak yang memperkirakan bahwa kebijakan tarif ini akan menambah kesulitan bagi pihak-pihak di dalam negeri yang ingin memulai kembali kehidupan pasca-perang.
“Sanksi dan tarif seperti ini justru menjadi penghalang yang semakin sulit dilewati,” ujar seorang pengamat kebijakan luar negeri. Terlebih lagi, hal ini menciptakan ketidakpastian yang lebih besar dalam hubungan AS dengan pemerintah Suriah.
Selain itu, kebijakan ini juga membuka peluang bagi negara-negara lain untuk mengambil alih peran dalam membantu rekonstruksi Suriah. Jika investasi dari Barat terhenti, negara-negara seperti Rusia dan China bisa saja melangkah lebih jauh.
Rekonstruksi Suriah: Peluang dan Tantangan
Dengan kondisi yang semakin rumit, tantangan dalam proses rekonstruksi Suriah semakin besar. Sejumlah analis menilai bahwa untuk menghidupkan kembali ekonomi Suriah, dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif dan tentunya lebih ramah bagi investasi asing.
Rekonstruksi tidak hanya sekadar memulihkan infrastruktur yang hancur, tetapi juga membangun kembali kepercayaan masyarakat. Masyarakat Suriah memerlukan jaminan bahwa mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik setelah bertahun-tahun berada dalam kekacauan.
“Investasi asing yang datang dengan sikap positif dan dukungan akan menjadi kunci,” tegas seorang pakar ekonomi internasional. Tanpa ada kehadiran yang kuat dari investor luar, proses ini bisa berjalan lambat dan tidak efektif.
Penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investor untuk kembali, termasuk mengurangi ketegangan yang mungkin terjadi akibat kebijakan internasional yang tidak stabil. Hanya dengan demikian, Suriah bisa berharap untuk bangkit dari keterpurukan yang berkepanjangan.