Di Indonesia, banyak pejabat yang seringkali memanfaatkan jabatannya untuk keuntungan pribadi. Namun, ada juga sosok pemerintah yang memilih untuk menjauhi segala bentuk korupsi demi kejujuran dan integritas, salah satunya adalah Idham Chalid, seorang tokoh politik yang dikenal oleh banyak orang.
Idham Chalid, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR) pada tahun 1971-1977, menunjukkan bahwa jabatan tinggi tidak selalu identik dengan gaya hidup mewah. Dalam masa jabatannya, Idham menjadi teladan dalam menunjukkan kesederhanaan dan akuntabilitas kepada publik.
Pencapaian Idham Chalid dalam Karir Politik
Idham Chalid merupakan seorang politisi sekaligus ulama yang lahir dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Di usia 34 tahun, tepatnya pada tahun 1956, dia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU, yang saat itu bukan hanya berfungsi sebagai organisasi sosial tetapi juga sebagai partai politik.
Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih 45 kursi di parlemen, dan Idham berperan penting sebagai ketua tim pemenangan. Sejak saat itu, karir politiknya semakin menanjak, bahkan di masa demokrasi parlementer, dia pernah menduduki posisi sebagai Wakil Perdana Menteri.
Pada era Soekarno dan kemudian Soeharto, posisi Idham semakin strategis. Dia dipercaya sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat sebelum akhirnya menjabat Ketua DPR/MPR. Dalam semua posisinya, Idham tetap konsisten dengan prinsip kesederhanaan yang diusungnya.
Integritas dan Etika dalam Kepemimpinan
Selama menjabat sebagai Ketua DPR/MPR, Idham dikenal sebagai tokoh yang mengutamakan integritas. Ia tidak pernah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, termasuk mobil dinas, kecuali untuk agenda resmi.
Bahkan, ia melarang keluarganya menggunakan uang di luar gaji resminya. Prinsipnya adalah untuk tidak mengonsumsi hal-hal yang haram demi menjaga kejujuran dan moralitas dalam keluarga.
Idham juga berkomitmen untuk tidak menipu rakyat dengan janji-janji manis. Dalam penyampaian kepada bawahannya, dia selalu mengingatkan akan pentingnya kebenaran dan transparansi di hadapan publik.
Pendidikan dan Dedikasi Setelah Pensiun
Setelah menyelesaikan masa jabatannya pada tahun 1977, Idham Chalid memilih untuk kembali ke jalur dakwah. Ia mengambil peran sebagai guru ngaji dan mengajarkan ratusan santri mengenai nilai-nilai agama dan moralitas.
Aktivitasnya di bidang pendidikan dan pengajaran menunjukkan dedikasinya yang tidak pernah pudar meski telah pensiun dari politik. Idham terlibat aktif dalam berbagai lembaga keagamaan, memimpin banyak kegiatan untuk memperkuat iman dan pengetahuan generasi muda.
Idham Chalid meninggal dunia pada 11 Juli 2010 dan diingat sebagai sosok yang berintegritas tinggi. Setahun setelah wafat, dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah, sebagai pengakuan atas jasa dan kontribusinya terhadap bangsa.
Warisan dan Nilai-nilai yang Ditinggalkan
Warisan yang ditinggalkan Idham Chalid sangat berharga, terutama dalam hal etika dan integritas. Banyak kalangan politikus dan masyarakat yang bisa mengambil pelajaran dari kepemimpinannya yang sederhana, bersih dari praktik korupsi.
Cara hidupnya yang tidak mementingkan harta kekayaan melainkan nilai-nilai kejujuran menjadi inspirasi bagi banyak orang hingga kini. Sosoknya patut dikenang sebagai contoh bahwa kekuasaan seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.
Penting untuk mengingat cerita-cerita seperti Idham Chalid, guna menyadarkan generasi masa kini untuk terus berjuang untuk kejujuran dan integritas di dunia politik. Karya dan dedikasinya akan selalu menjadi acuan untuk mempersiapkan pemimpin yang lebih baik di masa depan.
