Fenomena pembeli yang tidak membeli atau yang sekadar bertanya kini sedang ramai dibicarakan di pusat-pusat perbelanjaan di Indonesia. Dalam konteks perekonomian, hal ini menjadi topik yang menarik, karena meski meningkatkan jumlah pengunjung, dampaknya terhadap pendapatan pelaku usaha sangat minim.
Munculnya istilah-istilah seperti ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ akhir-akhir ini menandakan adanya perubahan perilaku konsumen yang menarik untuk dicermati. Banyak orang sekarang mendatangi mal bukan untuk berbelanja, melainkan hanya untuk bersantai atau melihat-lihat.
Pada dasarnya, fenomena ini bukanlah hal baru di Indonesia. Aktivitas yang dikenal dengan istilah “cuci mata” sudah ada sejak lama, tetapi intensitas dan frekuensinya meningkat seiring berkembangnya kultur belanja yang terfasilitasi oleh semakin banyaknya mal di kota-kota besar.
Sejarah Singkat tentang Aktivitas “Cuci Mata” di Pusat Perbelanjaan
Sejak tahun 1990-an, mal di Indonesia muncul sebagai alternatif hiburan bagi masyarakat. Di tengah terbatasnya ruang terbuka hijau di kota-kota, mal menjadi tempat berkumpul yang menyediakan berbagai fasilitas menarik.
Dalam hal ini, pengunjung tidak hanya berbelanja, tetapi juga mencari hiburan, berinteraksi dengan orang lain, atau sekadar menikmati suasana. Fenomena ini sudah menjadi bagian dari budaya moderen masyarakat urban.
Istilah “cuci mata” berasal dari frasa bahasa Inggris yang disebut ‘window shopping’. Namun, kondisi di Indonesia memperluas makna istilah ini sehingga tidak hanya mencakup melihat barang, tetapi juga menikmati atmosfer mal yang menyenangkan.
Perkembangan Kebiasaan Pembeli di Mal Sejak 1980-an
Sebuah laporan di tahun 1980-an menunjukkan bahwa anak muda dan berbagai kalangan masyarakat urban sering menjadikan mal sebagai tempat untuk bersosialisasi, bukan sekadar untuk berbelanja. Hal ini membuat pengunjung merasa nyaman dengan atmosfer yang ditawarkan oleh mal.
Dengan semakin banyak mal yang dibangun, perilaku dengan datang untuk ‘cuci mata’ semakin meningkat. Ini menjadi tanda bahwa pemerintah atau pelaku usaha perlu memikirkan kembali strategi agar lebih menarik minat pengunjung untuk berbelanja.
Kehadiran mal dengan berbagai atraksi bukan hanya memikat pengunjung, tetapi juga menimbulkan tantangan tersendiri bagi para pelaku usaha. Mereka perlu menemukan cara untuk mengubah pengunjung yang datang hanya untuk melihat menjadi pembeli yang loyal.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Kebiasaan Rojali dan Rohana
Kebiasaan datang ke mal tanpa niat untuk membeli dapat dilihat sebagai refleksi dari kurangnya tempat publik yang menarik. Masyarakat cenderung memilih mal karena lebih nyaman dan memenuhi kebutuhan sosial mereka.
Namun, kondisi ini tentu berpotensi merugikan pelaku usaha yang mengandalkan penjualan untuk bertahan. Meskipun pengunjung yang datang untuk ‘cuci mata’ mungkin meningkatkan okupansi mal, revenu yang dihasilkan tetaplah tidak sebanding dengan jumlah pengunjung tersebut.
Hal ini menyebabkan banyak pengusaha harus berinovasi dan memasang strategi pemasaran yang lebih kreatif untuk mengubah pengunjung pasif menjadi pembeli aktif.