Setiap tahun, tanggal 10 November memiliki makna istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada hari ini, pemerintah RI secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sejumlah individu yang telah berkontribusi besar bagi kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
Tahun ini, keputusan tersebut diambil oleh Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan sepuluh pahlawan baru, di antaranya Abdurrahman Wahid dan Soeharto, serta Marsinah, seorang buruh yang menjadi simbol perjuangan kaum pekerja. Pengakuan ini mencerminkan apresiasi terhadap dedikasi mereka dalam memperjuangkan hak dan kesejahteraan rakyat.
Namun, di tengah hiruk-pikuk penetapan pahlawan baru, tidak banyak yang mengetahui sosok Abdoel Moeis, tokoh pertama yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Beliau adalah mantan jurnalis yang juga pernah berkiprah sebagai petani di masa lalu.
Menggali Sejarah Perjuangan Abdoel Moeis yang Menginspirasi
Abdoel Moeis lahir dengan latar belakang pendidikan yang terbilang elit untuk zamannya. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di sekolah khusus Eropa dan melanjutkan ke STOVIA, sekolah dokter di Jawa. Namun, kutipan dari Rosihan Anwar menunjukkan bahwa meski berpendidikan di bidang kedokteran, ia lebih dikenal karena perannya sebagai jurnalis aktif pada saat itu.
Pada tahun 1905, Abdoel Moeis bergabung dengan majalah Bintang Hindia yang dipimpin oleh Abdul Rivai. Aktivitas tersebut membawanya untuk terlibat dalam koran Soeara Merdeka di Bandung dan kemudian menjadi bagian dari koran Kaum Muda, di mana tulisan-tulisannya memicu reaksi keras dari pemerintah kolonial Belanda.
Melalui penulisan serta interaksi dengan tokoh pergerakan nasional seperti Tjokroaminoto dan Ki Hajar Dewantara, Abdoel Moeis mengambil langkah berani dalam perjuangan melawan penjajahan. Dia kemudian mendirikan organisasi yang berfokus pada perlawanan terhadap kekuatan kolonial yang menindas.
Risiko yang Dihadapi Abdoel Moeis dalam Aktivisme Politik
Tentunya, langkah-langkah berani yang diambil Abdoel Moeis membawa konsekuensi. Aktivitas politiknya yang progresif membuatnya berulang kali ditangkap, terutama setelah ia memimpin demonstrasi besar membela kaum buruh yang dilarang oleh pemerintah kolonial. Penangkapan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menekan suara-suara perlawanan pada saat itu.
Setelah beberapa kali ditahan, Abdoel Moeis menghadapi pilihan sulit antara terus berjuang dalam politik atau mencari jalan lain. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti dari dunia aktivisme dan beralih menjadi petani serta penulis. Keputusan ini mencerminkan sikap pragmatis dan fokusnya pada jejak sejarah yang ingin ditinggalkan.
Pada tahun 1928, Abdoel Moeis menerbitkan novel pertamanya yang berjudul Salah Asuhan. Karya ini menggambarkan dengan jelas kondisi masyarakat Indonesia di masa penjajahan, dan hingga kini dianggap sebagai salah satu karya sastra penting di Indonesia.
Warisan Abdoel Moeis sebagai Pahlawan Nasional Pertama
Setelah berkarier sebagai penulis dan petani, Abdoel Moeis meninggal dunia pada tahun 1959 di Bandung, Jawa Barat. Ia menjadi sosok pahlawan yang perlu diingat, terutama pada tahun yang sama saat pemerintah Indonesia mulai menggagas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional. Di bawah kepemimpinan Soekarno, gelar ini diharapkan dapat mengembalikan nama baik perjuangan para tokoh yang menentang penjajahan Belanda.
Dengan berbagai cara, pemerintah menggali kembali sejarah dan menghormati jasa para pejuang. Tidak hanya lewat penulisan biografi, namun juga dengan pembuatan poster serta anugerah gelar Pahlawan Nasional. Dalam konteks ini, Abdoel Moeis diakui sebagai Pahlawan Nasional pertama Indonesia, sebuah pengakuan yang sangat berharga dan layak untuk dihargai oleh generasi mendatang.
Warisan Abdoel Moeis tetap hidup dalam ingatan kita, bukan hanya sebagai seorang jurnalis dan penulis, tetapi juga sebagai simbol perjuangan dan ketahanan rakyat Indonesia. Dengan adanya gelar ini, diharapkan generasi muda dapat meneladani semangat juangnya dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.














