Pemerintah Indonesia baru saja mendapatkan persetujuan untuk memperkuat armada TNI Angkatan Udara dengan mendatangkan pesawat tempur Chengdu J-10C dari China. Dengan anggaran sekitar US$9 miliar yang disetujui, langkah ini merupakan bagian dari strategi untuk modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia.
Dari sisi operasional, keberadaan pesawat tempur yang canggih tentunya memerlukan pilot-pilot yang terlatih dan berpengalaman. Kisah perjalanan pilot jet tempur pertama Indonesia, Mulyono, menyajikan narasi tentang dedikasi dan pengorbanan di dunia penerbangan, terutama saat negara masih berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan.
Mulyono yang awalnya seorang masinis, memutuskan untuk mengejar minatnya di bidang penerbangan dengan mendaftar ke Sekolah Penerbangan. Kiprahnya di angkatan udara tidak hanya menonjolkan bakatnya tetapi juga mencerminkan semangat juang yang tinggi di masa yang sulit.
Menyusuri Jejak Sejarah Penerbangan Angkatan Udara Indonesia
Mulyono lahir dan dibesarkan di Kediri, dan tertarik dengan penerbangan sejak usia dini. Setelah mengikuti pendidikan di Sekolah Penerbangan di Malang dan Yogyakarta, ia menjadi bagian dari sejarah yang lebih besar ketika wartawan dan masyarakat merangkul semangat perjuangan Angkatan Udara Republik Indonesia.
Saat itu, situasi politik sangat tidak menentu, dan Mulyono dihadapkan pada tantangan berat. Meski masih berstatus kadet, dia sudah diterjunkan dalam operasi udara, termasuk serangan terhadap pasukan Belanda di Semarang. Aksi ini menjadi tonggak sejarah bagi Angkatan Udara, menegaskan keberadaan dan kekuatan AURI.
Mulyono tidak hanya berfungsi sebagai pilot; dia juga membawa materi logistik bagi para pejuang yang diperlukan di garis depan. Pengalamannya yang kaya di dalam kokpit membuatnya dihormati di kalangan rekan-rekannya dan menjadikan dirinya pilot yang dicari.
Karier Sang Pilot dan Latihan Intensifnya
Seiring berjalannya waktu, Mulyono mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan penerbangan di luar negeri. Kecerdasan dan dedikasinya dalam menerbangkan jet tempur membuatnya menjadi salah satu tokoh utama dalam Angkatan Udara pada masa itu. Kemampuannya dalam manuver pesawat dalam situasi sulit menjadi kekuatan tersendiri.
Akan tetapi, kesuksesannya tak berlangsung lama. Pada tanggal 12 April 1951, Mulyono yang kini berpangkat kapten, memimpin pertunjukan aerobatik untuk merayakan lima tahun pembentukan AURI. Menggunakan pesawat Mustang, dia melakukan berbagai manuver yang membuat penonton terkesima.
Namun, saat sedang menampilkan kemampuan terbaiknya, pesawat yang dipiloti Mulyono mengalami masalah teknis. Momen dramatis itu berakhir tragis saat pesawatnya tiba-tiba jatuh, mengejutkan seluruh penonton yang hadir dan meninggalkan negara ini dalam duka mendalam.
Duka Mendalam atas Kehilangan Seorang Pejuang
Pada saat pesawat tersebut menukik tajam dan jatuh, Mulyono langsung gugur di tempat. Usianya yang masih sangat muda, baru 28 tahun, membuat kepergiannya terasa sangat berat. Hasil penelitian dan investigasi menyatakan bahwa pesawatnya mengalami kerusakan mesin yang tiba-tiba menjelang akhir pertunjukan.
Korban jiwa ini sangat mempengaruhi suasana hati Angkatan Udara, yang segera mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk penghormatan terakhir. Masyarakat serta kolega-koleganya menggambarkan Mulyono sebagai sosok yang penuh semangat dan berani, yang telah memberikan segalanya untuk tanah air.
Pemakaman Mulyono dilakukan dengan upacara militer yang khidmat, dan ia dimakamkan di Taman Kusuma Bangsa, Surabaya. Warisan yang ditinggalkannya tidak hanya berupa kenangan tetapi juga semangat perjuangan dan dedikasi untuk bangsa.














