Selama bertahun-tahun, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Amerika Serikat telah mengalami dinamika yang kompleks. Terlebih lagi, pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, hubungan ini menjadi penuh intrik dan ketegangan. Salah satu tokoh yang paling terlibat dalam momen krusial ini adalah Marshall Green, yang menjabat sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia dari tahun 1965 hingga 1969.
Green diangkat dalam masa yang penuh gejolak, ketika Indonesia berusaha menemukan identitas politiknya sendiri. Namun, kedatangannya ditandai dengan berbagai ketegangan antara kedua negara yang berbeda pandangan dan nilai, menjadikannya sebagai sosok yang menarik dan kontroversial dalam sejarah diplomatik.
Soekarno, sebagai proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Indonesia, memiliki pandangan skeptis terhadap Amerika Serikat. Dia melihat kehadiran Green sebagai utusan yang tidak diinginkan, terutama karena reputasi Green yang melibatkan peran dalam kudeta di beberapa negara lain.
Marshall Green dan Kebangkitan Ketegangan Diplomatik antara AS dan Indonesia
Marshall Green dikenal sebagai diplomat yang cakap, namun keberangkatannya ke Indonesia cukup dipertanyakan. Soekarno bahkan sering kali melayangkan kritik keras terhadap kebijakan luar negeri AS. Ketidakpuasan ini muncul dari perasaan bahwa Indonesia sering diperlakukan sebagai pion dalam permainan politik global AS.
Dalam berbeda kesempatan, Soekarno secara terbuka mengekspresikan ketidaksukaannya terhadap bantuan asing yang disertai syarat. Hal ini tercermin dalam autobiografinya, di mana dia merinci pengalamannya merasa dipermainkan oleh AS. Indonesia ingin menjadi sahabat, namun dianggap sebagai sekadar alat dalam agenda politik.
Dalam salah satu kesempatan, saat Green menyampaikan surat kepercayaannya, Soekarno langsung menyerang kebijakan luar negeri AS di depan umum. Kejadian ini membuat Green, meskipun tampak tidak terpengaruh, sangat kesal dan bahkan hampir meninggalkan ruangan.
Insiden Durian dan Pesona Budaya Indonesia
Namun, puncak dari penganiayaan diplomatik yang dialami Green terjadi pada 28 September 1965. Dalam acara peletakan batu pertama Universitas Indonesia, Soekarno membuat kejutan dengan menghadirkan durian, buah yang sangat tidak disukai oleh banyak orang asing termasuk Green. Ini merupakan usaha simbolis Soekarno untuk memperlihatkan budaya Indonesia kepada tamunya.
Soekarno tidak hanya membawa durian itu ke panggung, tetapi juga memaksa Green untuk memakannya di hadapan ribuan orang. Situasi ini memberi tekanan psikologis yang luar biasa bagi Green, yang terpaksa menjaga wibawa Amerika di tengah tuntutan tersebut.
Pada momen tersebut, Soekarno memimpin teriakan ‘makan, makan, makan!’ dari mahasiswa, menambah ketegangan dalam situasi. Dalam kondisi yang tertekan, Green akhirnya memenuhi permintaan tersebut, meskipun dengan rasa jijik dan canggung.
Kepercayaan dan Ketidaktahuan dalam Diplomasi
Dalam berbagai kesempatan, semangat Soekarno untuk memperlihatkan keunikan budaya Indonesia tampak jelas. Selain insiden durian, ada juga cerita menarik lainnya ketika Green diundang ke Pelabuhan Ratu, yang terkenal dengan legenda Nyi Roro Kidul. Mitos ini menyiratkan rasa takut terhadap hal-hal yang dianggap gaib dan berhubungan dengan sejarah budaya lokal.
Green yang dikenal skeptis terhadap cerita-cerita tersebut mendadak dilanda kekhawatiran ketika mendengar bahwa seorang pejabat Bulgaria tewas di sana. Nama Family Green juga menjadi pembicaraan, karena ‘green’ berarti hijau, yang konon menjadi warna kesukaan Nyi Roro Kidul.
Walaupun pada awalnya meragukan, Green pun merasa perlu untuk berhati-hati. Keputusan untuk menghindari Pelabuhan Ratu menambah garis hitam dalam diplomasi yang telah dibangun dengan penuh kesulitan.
Menjadi Saksi Perubahan Sejarah di Indonesia
Marshall Green akhirnya menjalani masa tugas yang penuh momen dramatis, termasuk melihat perubahan besar yang terjadi di Indonesia. Ia menjadi saksi langsung kejatuhan Soekarno dan munculnya Soeharto sebagai presiden kedua Indonesia. Peralihan kekuasaan ini juga melahirkan banyak pertanyaan tentang intervensi asing dalam politik negara berkembang.
Ketika Soekarno jatuh, banyak pihak mempertanyakan peran AS di balik layar. Reputasi Green yang selalu berhubungan dengan kudeta di negara lain menambah kesan bahwa momen transisi tersebut tidak terlepas dari pengaruh Amerika, meskipun banyak yang meragukannya.
Marshall Green menjadi bagian integral dari sejarah Indonesia, bukan hanya sebagai diplomat, tetapi juga sebagai simbol dari hubungan yang rumit antara dua negara. Ia menjadi representasi dari konflik budaya, nilai, dan cara pandang yang terus berkembang sepanjang waktu.