Sejarah diplomasi antara Indonesia dan Amerika Serikat menyimpan kisah-kisah yang unik dan penuh warna. Salah satu yang paling mencolok adalah pengalaman Duta Besar AS, Marshall Green, yang langsung berhadapan dengan sikap Presiden Soekarno yang kontroversial.
Marshall Green mulai menjabat sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia pada 26 Juli 1965, di tengah atmosfer yang panas antara kedua negara. Dia sering dianggap sebagai simbol ketidakpuasan Indonesia terhadap kebijakan luar negeri AS yang dianggap merugikan.
Soekarno, yang memimpin Indonesia dengan gaya kepemimpinan yang tegas, sebenarnya tidak senang dengan kehadiran Green. Kontroversi mengelilingi Green, termasuk keterlibatannya dalam kudeta di negara-negara lain, menambah alasan bagi Soekarno untuk merasa waspada terhadap utusan AS tersebut.
Dalam autobiografinya, Soekarno mengungkapkan perasaannya tentang bantuan asing yang penuh syarat dari AS. Dia merasa bahwa hubungan bilateral yang seharusnya terjalin sebagai pertemanan justru berujung pada ketidakpuasan dan kekecewaan.
Perseteruan ini memuncak pada momen-momen tertentu yang mencerminkan ketegangan hubungan kedua negara. Di antara semua insiden tersebut, salah satu yang paling mencolok adalah kejadian saat Soekarno mengundang Green untuk menghadiri peletakan batu pertama Universitas Indonesia di Ciputat.
Insiden Durian yang Menghebohkan
Pada acara tersebut, Soekarno secara mengejutkan membawa durian dan memberikannya kepada Green di atas panggung. Durian, yang dikenal dengan baunya yang menyengat, tentu bukanlah hidangan favorit banyak orang, termasuk diplomat AS ini.
Dengan cerdik, Soekarno meminta paduan suara untuk mendesak Green agar memakan durian tersebut. Momen ini menjadi sangat memalukan bagi Green, yang pada akhirnya terpaksa melakukannya demi menjaga wibawa negara adidaya.
Trik ini adalah salah satu cara Soekarno untuk menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kehadiran Green dan untuk memberi tahu dunia bahwa Indonesia sedang tidak dalam posisi yang lemah. Ini adalah simbol dari ketidakharmonisan yang lebih besar dalam hubungan diplomatik kedua negara.
Pada satu sisi, Green dan pejabat AS lainnya berusaha mempertahankan citra positif, tetapi di sisi lain, mereka menghadapi tantangan personal yang bisa mengganggu hubungan resmi. Kejadian ini masih menjadi ingatan bagi banyak orang sebagai momen lucu tetapi juga serius dalam sejarah diplomasi.
Takut Akan Mitos Nyi Roro Kidul
Selain insiden durian, ada satu kejadian lain yang membuat Green merasa tertekan. Soekarno pernah mengundangnya untuk berlibur ke Pelabuhan Ratu, yang terkenal dengan legenda Nyi Roro Kidul, ratu penguasa laut selatan.
Green yang awalnya skeptis terhadap mitos dan legenda tersebut mulai merasa khawatir setelah mendengar cerita tentang pejabat tinggi yang tewas terseret ombak karena mengenakan pakaian hijau. Ironisnya, nama belakangnya, Green, berarti hijau dalam bahasa Indonesia.
Perasaan ketakutan ini semakin diperburuk oleh fakta bahwa hijau merupakan warna kesukaan Nyi Roro Kidul. Green pun merasa tidak aman dan berusaha menghindari wilayah itu, meskipun diundang langsung oleh Presiden Indonesia.
Kejadian ini menunjukkan bagaimana ketakutan akan mitos lokal dapat mempengaruhi cara diplomat asing berinteraksi dengan budaya setempat. Keterhubungan antara budaya, politik, dan kepercayaan setempat membuat hubungan internasional semakin kompleks.
Marshall Green mendapati dirinya terjebak antara kewajiban diplomatik dan ketidakpastian yang muncul dari kepercayaan lokal. Ini menciptakan kondisi yang membuat para diplomat harus lebih peka terhadap konteks budaya di mana mereka bekerja.
Dampak Pada Hubungan Diplomatik Jangka Panjang
Marshall Green bertugas di Indonesia hingga 1969, menyaksikan langsung kejatuhan Soekarno dan kebangkitan Soeharto sebagai presiden kedua. Selama masa tugasnya, banyak peristiwa penting yang terjadi, termasuk perubahan mendasar dalam politik Indonesia.
Setiap langkah dalam karier diplomatik Green selalu diwarnai oleh kontroversi. Penyanyi kekuasaan dan kekacauan politik tidak hanya menggetarkan Indonesia tetapi juga berdampak pada persepsi internasional mengenai AS.
Pengalamannya di Indonesia memperkaya perspektif tentang betapa berawalnya diplomasi di setiap negara. Ketika isu-isu ini dieksplorasi lebih dalam, kita mulai menyadari kompleksitas yang terlibat dalam hubungan bilateral.
Dampak dari hubungan ini dapat terlihat hingga hari ini, di mana interaksi antara dua negara besar ini terus berkembang dalam berbagai aspek, mulai dari ekonomi hingga budaya. Keduanya harus belajar dari sejarah untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Total pengalaman Green dan Soekarno mencerminkan ketegangan antara dua budaya yang berbeda, serta bagaimana aspek-aspek tersebut dapat saling mempengaruhi dalam konteks hubungan internasional. Dalam banyak cara, ini adalah pengingat bagi kita tentang pentingnya saling pengertian dan komunikasi dalam membentuk dunia yang lebih harmonis.