Kota-kota yang ramai seringkali menjadi saksi dari pertemuan tak terduga antara manusia dan satwa liar. Dalam beberapa waktu terakhir, laporan tentang harimau dan macan yang berkeliaran di tengah keramaian telah mencuri perhatian publik, sebuah fenomena yang menggugah rasa ingin tahu dan kesadaran akan keberadaan mereka. Beberapa kejadian menarik perhatian kita, seperti seekor macan tutul yang terjebak di hotel di Bandung, serta rekaman harimau memasuki kantor BRIN di Sumatra Barat.
Menariknya, meskipun banyak kejadian dramatik, tidak ada korban jiwa dari insiden tersebut. Ini menjadi bukti bahwa meskipun pertemuan manusia dan hewan buas bisa berbahaya, dengan pendekatan yang tepat, insiden tersebut dapat dikelola dan dihadapi dengan cara yang aman.
Kendati begitu, sejarah mencatat bahwa interaksi antara manusia dan hewan buas sering kali berakhir dengan tragis. Salah satu kisah yang paling mengerikan terjadi hampir dua abad yang lalu di Besuki, yang kini menjadi bagian dari Situbondo, ketika seorang anak kecil berjuang melawan harimau demi menyelamatkan ayahnya.
Sejarah Kelam Pertemuan Manusia dengan Harimau
Kisah ini dimulai pada bulan Desember 1827, ketika seorang bocah berusia 12 tahun bernama Keset sedang menggiring banteng milik ayahnya. Pada dasarnya, kegiatan tersebut adalah rutinitas harian bagi Keset, yang biasanya melepaskan banteng untuk mencari makan di padang. Namun, pagi itu segalanya berubah saat dia menemukan banteng kesayangannya tergeletak mati di semak-semak.
Melihat keadaannya, Keset langsung menyadari bahwa hanya satu makhluk yang mampu melakukan hal tersebut, yaitu harimau. Sebagai keluarga keturunan Madura, banteng bagi mereka lebih dari sekadar ternak; ia adalah simbol dari keberanian dan kehormatan. Kehilangan hewan itu membuat Keset ketakutan dan marah.
Dengan semangat yang membara, Keset berlari pulang untuk memberi tahu ayahnya, Sakal, yang saat itu berusia 60 tahun. Sakal, yang sangat mencintai anaknya dan bantengnya, segera mengambil tindakan. Bersama putra sulungnya, mereka kembali ke tempat kejadian, namun hal yang mengerikan terjadi di sana.
Pertarungan Epik antara Manusia dan Harimau
Saat mendekati bantengnya yang malang, seekor harimau besar melompat keluar dari semak-semak dan menerjang Sakal dengan kecepatan luar biasa. Dalam sekejap, Sakal terjatuh dan lengannya tergigit oleh hewan yang buas itu. Meski dalam kondisi sekarat, ia masih berusaha melawan dengan meraih keris di pinggangnya.
Dari kejauhan, Keset menyaksikan semua ini dengan rasa takut campur putus asa. Jeritan pingsan tidak membantu, maka dengan nekat ia mengambil tombak dan berlari menghampiri harimau tersebut. Dalam momen yang mendebarkan, dia menikam dada harimau tersebut dengan sekuat tenaga, terinspirasi oleh keberanian yang luar biasa.
Harimau yang terkena tikaman meraung dengan keras dan terhempas ke tanah, tepat di samping Sakal. Meskipun tubuhnya terluka, Sakal masih hidup berkat keberanian anaknya yang tidak gentar menghadapi salah satu predator paling menakutkan. Keluarga mereka pun merasakan campuran rasa syukur dan kesedihan saat menyadari bahwa mereka selamat.
Dampak Pertarungan Terhadap Kehidupan Satwa Liar
Setelah insiden tersebut, dokter dari Belanda yang tinggal di Besuki datang untuk menyelamatkan Sakal. Dengan bantuan orang-orang terdekat, keluarga itu berusaha menjalani kehidupan dengan trauma yang mendalam. Sementara itu, peristiwa ini menjadi gambaran mengenai hubungan rumit antara manusia dan harimau.
Kisah yang terjadi hampir dua abad lalu mencerminkan bahwa pertemuan manusia dan satwa liar bukan sekadar cerita petualangan, tetapi juga bagian dari pergeseran ekosistem. Konflik ini pada gilirannya membuat harimau, terutama harimau Jawa, mengalami penurunan populasi yang signifikan.
Pada tahun 1940, diperkirakan hanya tersisa antara 200 hingga 300 ekor harimau. Jumlah ini terus menurun, sampai akhirnya harimau Jawa dinyatakan punah pada tahun 1980-an. Penghancuran habitat dan penangkapan oleh manusia telah merusak keseimbangan alam yang telah ada selama ribuan tahun.