Pada 17 Februari 1674, Indonesia mengalami salah satu bencana alam terburuk dalam sejarahnya, yakni tsunami dengan ketinggian mencapai 100 meter. Kejadian memilukan ini tercatat dalam buku karya seorang tentara bernama George Berhard Rumphius, yang merupakan saksi langsung dari bencana tersebut saat bertugas di Ambon.
George Rumphius tiba di Ambon pada tahun 1653, di mana ia diutus untuk menjaga keamanan wilayah tersebut. Tugasnya tidak hanya mengawasi penduduk, tetapi juga mendukung eksploitasi rempah-rempah yang dilakukan oleh VOC, namun karirnya di bidang militer tidak berlangsung lama.
Setelah beberapa waktu, otoritas VOC menilai bahwa kemampuannya tidak memadai, dan ia dipindahkan ke dinas sipil. Meskipun begitu, pemindahan ini memicu semangatnya untuk mempelajari alam dan budaya Ambon secara lebih mendalam.
Rumphius kemudian menjadi seorang naturalis terkemuka dan berhasil menulis sebuah buku berjudul Herbarium Amboinense. Buku tersebut tidak hanya membahas tentang flora dan fauna Ambon tetapi juga mencatat pengalamannya terhadap bencana tsunami yang terjadi pada tahun 1674.
Cerita Menyeramkan Setelah Tsunami Melanda Ambon
Saat bencana itu terjadi, Rumphius melanjutkan aktivitasnya seperti biasa, hingga suatu malam, lonceng Kastil Victoria berbunyi tanpa sebab. Bunyi tersebut berhasil menarik perhatian Rumphius dan orang-orang di sekitarnya, membuat mereka curiga akan adanya sesuatu yang tak beres.
Ketika mereka menyaksikan pergerakan tanah yang tidak biasa, situasi langsung berubah mencekam. Tanah mulai bergetar hebat, dan semua yang ada di sana menyaksikan pergerakan ini mengingatkannya pada lautan yang bergelora.
Rumphius menggambarkan momen menakutkan ketika orang-orang berjatuhan seiring dengan gempa yang mengguncang Ambon. Dalam kekacauan tersebut, ia dan pasukan berusaha menyelamatkan diri ke area yang lebih terbuka.
Namun, jauh lebih menakutkan adalah saat air laut mulai meluap ke daratan. Dalam sekejap, air yang tinggi melampaui atap bangunan, menyapu bersih segala yang dilalui.
Ratusan orang terjebak dalam reruntuhan dan terhanyut oleh ombak, hanya sedikit yang berhasil melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi. Keluarga Rumphius pun harus menemui nasib tragis dalam bencana tersebut, di mana ia kehilangan istri dan anak perempuannya.
Dampak Gempa dan Tsunami Terhadap Wilayah Ambon
Setelah lebih dari tiga abad, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan pentingnya catatan Rumphius dalam sejarah gempa dan tsunami di Indonesia. Dirjen Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menyebut peristiwa ini sebagai bencana dahsyat pertama dalam catatan sejarah Nusantara.
Gempa yang terjadi pada tahun tersebut diperkirakan memiliki magnitudo sebesar 7,9, menjadikannya salah satu gempa terkuat yang pernah melanda daerah tersebut. Kerusakan yang diakibatkan sangat parah, terlebih karena tanah Ambon kehilangan stabilitasnya setelah gempa.
Naiknya permukaan laut dan gelombang dahsyat bagaikan hukuman bagi desa-desa di sekitar, di mana banyak yang tidak selamat. Daryono menjelaskan bahwa selain getaran, longsoran pantai menjadi faktor signifikan terjadinya tsunami yang begitu besar.
Melihat berbagai kejadian tsunami yang terjadi di Indonesia, termasuk di Flores pada tahun 1992, Daryono menyatakan bahwa magnitudo bukan satu-satunya penentu besar kecilnya tsunami. Hal ini menunjukkan kompleksitas kondisi geografis dan faktor lain yang turut berkontribusi terhadap bencana.
Misalnya, tsunami yang terjadi di Aceh, meski tidak sekuat yang diperkirakan, justru mengakibatkan dampak yang sangat luas. Hasil analisa BMKG menunjukkan bahwa kondisi geologi dan geografi sangat nyata berperan dalam menentukan besarnya tsunami.
Belajar dari Sejarah untuk Mempersiapkan Masa Depan
Melihat kembali peristiwa tsunami Ambon, penting bagi kita untuk memahami bagaimana sejarah bisa menjadi guru bagi masa depan. Pengetahuan tentang bencana alam ini harus menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan pemerintah.
Setiap kali kita menyaksikan bencana serupa, kita diingatkan akan pentingnya mempersiapkan diri. Sistem peringatan dini harus terus ditingkatkan agar kesalahan yang sama tidak terulang di masa mendatang.
Pendidikan tentang mitigasi bencana dan pengelolaan risiko harus lebih diprioritaskan. Apalagi dengan bertambahnya populasi dan kebutuhan infrastruktur, kita harus siap menghadapi berbagai kemungkinan.
Tsunami 1674 bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan pelajaran berharga yang seharusnya memberikan dampak positif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya bencana alam. Kesadaran ini harus ditularkan kepada generasi mendatang agar mereka lebih siap dan tangguh dalam menghadapi tantangan alam.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diharapkan upaya dalam memproduksi informasi yang akurat tentang potensi bencana bisa lebih ditingkatkan. Dengan begitu, kita bisa melindungi diri dan lingkungan dari risiko bencana di masa depan.