Presiden Prabowo Subianto baru saja tiba di New York, Amerika Serikat pada tanggal 20 September untuk menghadiri Sidang ke-80 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kunjungan kepala negara Indonesia ke AS ini selalu menyimpan kisah-kisah menarik yang menjadi bagian dari sejarah diplomasi Indonesia.
Secara historis, kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Amerika Serikat pada tahun 1956 menciptakan kesan mendalam. Selama kunjungan itu, Soekarno disambut meriah oleh rakyat Amerika, sebuah momen yang sangat jarang terjadi untuk seorang pemimpin dunia.
Sambutan hangat dari masyarakat AS menjadi refleksi hubungan bilateral antara kedua negara yang pada waktu itu cukup kuat. Soekarno memanfaatkan momen tersebut untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia.
Kunjungan Kenegaraan Soekarno yang Penuh Euphoria
Kunjungan kenegaraan pertama Soekarno ke AS berlangsung pada 17 Mei 1956, di mana ia bertujuan untuk memperkuat hubungan bilateral antara kedua negara. Agendanya termasuk bertemu dengan Presiden Eisenhower, berpidato di hadapan anggota Senat, dan berbincang dengan pengusaha lokal.
Peristiwa ini tidak hanya sekadar kunjungan, tetapi menjadi momen bersejarah yang memperlihatkan kedekatan Indonesia dengan dunia internasional. Dalam autobiografinya, Soekarno menekankan betapa berartinya sambutan yang diterimanya dari rakyat Amerika.
Di bandara Washington, Soekarno disambut secara resmi dengan 21 tembakan meriam dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dari bandara, dia menuju mobil kenegaraan yang melintasi Washington DC, di mana jumlah warga yang menyambutnya mencapai 25 ribu orang.
Antusiasme Rakyat AS terhadap Soekarno
Antusiasme yang ditunjukkan oleh warga AS membuat kehadiran Soekarno seolah menjadi perayaan besar. Tiang-tiang lampu di sepanjang jalan dipenuhi dengan bendera Merah Putih, dan sorak-sorai menggema di jalan. Ini adalah indikator dukungan publik yang luar biasa terhadap sosok pemimpin Asia ini.
Soekarno bahkan berhenti untuk menyapa kerumunan dan berjabat tangan dengan pendukung yang hadir, serta menerima kunci emas dari wakil wali kota sebagai simbol penghormatan. Momen tersebut menunjukkan betapa besar rasa kagum masyarakat Amerika terhadap sosoknya.
Kisah ini dialami Soekarno sebagai pencapaian yang mengagumkan, melebihi jamuan seremonial yang pernah diberikan kepada pemimpin dunia lainnya. Ia menciptakan sebuah prasasti dalam diplomasi internasional yang menjadi acuan bagi pemimpin selanjutnya.
Pesan Politik di Balik Sambutan Meriah
Sambutan hangat ini berlangsung bukan tanpa alasan. Soekarno telah membangun citra sebagai tokoh anti-kolonialisme yang kuat, terutama setelah sukses menggelar Konferensi Asia-Afrika setahun sebelumnya. Dalam pidatonya, ia memanfaatkan kesempatan untuk menyerukan bantuan bagi negara-negara Asia dan Afrika.
Dia mengritik situasi kolonial yang masih terdapat di beberapa belahan dunia dan menuntut dukungan konkret dari Amerika Serikat untuk Indonesia, khususnya dalam masalah Irian Barat. “Momen Irian Barat adalah kanker kolonialisme di tubuh kami,” katanya tegas.
Namun, meskipun dikelilingi oleh keramaian dan pujian, Soekarno tetap fokus pada tujuan politik yang lebih besar. Ia berusaha menggunakan keterkenalannya dalam memajukan kepentingan nasional Indonesia di hadapan dunia.
Perubahan Hubungan Diplomatik pada Kunjungan Kedua
Sayangnya, sambutan meriah yang sama tidak terulang pada kunjungan Soekarno yang kedua pada tahun 1960. Hubungan antara Indonesia dan AS mulai merenggang seiring dengan semakin dekatnya Soekarno ke blok Timur. Pada kunjungan ini, dia tidak lagi disambut oleh Presiden Eisenhower di bandara.
Ketidakberdayaan ini membawa rasa marah di hati Soekarno, yang melihatnya sebagai tanda penurunan hubungan bilateral antara kedua negara. Situasi ini mencerminkan dinamika politik global yang selalu berubah, di mana kepentingan nasional sering kali menjadi pertaruhan utama.
Dengan pengalaman tersebut, Soekarno belajar bahwa sambutan hangat bisa dengan mudah tergantikan oleh kepentingan politik yang lebih besar. Hal ini membentuk Pandangannya tentang hubungan internasional ke depan dan penekanan pada posisi Indonesia di panggung dunia.