Di tengah tantangan pasca-kemerdekaan, masyarakat Minangkabau menunjukkan kepedulian yang sangat luar biasa. Kesadaran akan pentingnya kontribusi bagi bangsa membuat mereka, terutama perempuan Minang, bersatu untuk menyumbangkan harta mereka demi perjuangan negara.
Kisah ini bermula pada September 1947, saat proklamator asal Minang, Mohammad Hatta, menggagas pengumpulan emas. Pengumpulan ini ditujukan untuk membiayai pembelian pesawat yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan diplomasi dan transportasi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam situasi perang dan krisis ekonomi, bantuan masyarakat menjadi sangat vital.
Kepedulian masyarakat membuat ibu-ibu Minang, yang sudah terbiasa menabung emas, berkontribusi dalam bentuk emas. Dalam waktu singkat, terkumpul 14 kilogram emas, yang nilai saat ini setara dengan Rp 31 miliar. Ini menunjukkan tekad yang kuat dari masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan negara.
Kepedulian Masyarakat Minangkabau di Awal Kemerdekaan
Penggalangan dana ini mengundang perhatian besar dari segenap elemen masyarakat. Ketika mendengar bahwa pemerintah membutuhkan pesawat, banyak ibu-ibu yang berinisiatif untuk menyumbangkan emas mereka. Hal ini menandakan bahwa kepedulian terhadap negara telah menjadi bagian dari budaya mereka.
Sejak zaman dahulu, masyarakat Minangkabau dikenal sangat menghargai nilai-nilai solidaritas dan gotong royong. Melalui aksi ini, mereka berhasil membuktikan bahwa meskipun dalam keadaan sulit, semangat untuk membantu tetap ada, sebagai bentuk dukungan nyata terhadap perjuangan kemerdekaan.
Sumbangan emas tersebut kemudian diserahkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) untuk selanjutnya digunakan membeli pesawat. Salah satu pesawat yang diperoleh dari hasil sumbangan ini adalah Avro Anson, yang kemudian dioperasikan untuk berbagai misi diplomasi.
Proses Pembelian Pesawat dan Misi Diplomasi
Setelah mengumpulkan emas, AURI menjalin koneksi dengan Paul Keegan, seorang warga Australia yang menjual pesawat Avro Anson. Pembelian dilakukan dan pesawat mendapatkan kode penerbangan RI-003, yang memiliki makna besar bagi sejarah kedirgantaraan Indonesia.
Penerbang yang ditugaskan, Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi, mendapat tugas untuk menjemput pesawat tersebut dari Singapura. Namun, mereka menghadapi tantangan berat berupa blokade udara Belanda, yang mengharuskan mereka untuk mengubah rute demi menghindari musuh.
Dengan strategi yang tepat, mereka akhirnya berhasil mendarat di Padang, Sumatra Barat. RI-003 pun langsung difungsikan untuk misi diplomasi, termasuk melakukan kontak dengan pemerintah Thailand dan Singapura untuk mendapatkan dukungan dalam konflik yang sedang berlangsung.
Misi Berbahaya dan Nasib RI-003
Misi untuk mendapatkan perlengkapan perang sangat berisiko mengingat adanya blokade yang ketat dari Belanda. Halim dan Iswahyudi berulang kali menembus batas-batas yang ditetapkan musuh demi kepentingan Republik. Usaha keras mereka membuahkan hasil, dengan membawa pulang tambahan peralatan perang dari Bangkok.
Namun, nasib malang menimpa RI-003. Pada 14 Desember 1947, pesawat tersebut mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan kembali ke Bukittinggi akibat cuaca buruk. Insiden ini mengakibatkan kedua pilot yang menjunjung tinggi semangat untuk bangsa dinyatakan meninggal dunia.
Keberhasilan pengumpulan emas dan pembelian pesawat ini menunjukkan betapa besar dukungan masyarakat dalam perjuangan kemerdekaan, tidak hanya dari Minangkabau, tetapi juga daerah lain seperti Aceh yang turut berkontribusi. Masyarakat Aceh juga mengumpulkan emas untuk membeli dua pesawat DC-3, semakin memperkuat semangat persatuan Indonesia.













