Kisah hilangnya Michael Rockefeller, putra dari keluarga miliuner ternama di Amerika Serikat, di wilayah Papua pada tahun 1961, menyisakan misteri yang belum terpecahkan. Berbagai teori bermunculan terkait nasibnya, mulai dari kemungkinan dimakan buaya hingga dibunuh oleh suku lokal, namun tidak ada yang dapat dibuktikan hingga kini.
Michael merupakan seorang antropolog muda dan anak dari Nelson Rockefeller, Wakil Presiden Amerika Serikat periode 1974-1978. Ia melakukan perjalanan ke Papua bersama tim dari Universitas Harvard untuk mendokumentasikan kehidupan Suku Dani, yang hasilnya direkam dalam film dokumenter berjudul Dead Birds.
Selama di Papua, peran Michael sebagai fotografer dan teknisi suara sangat penting. Selain itu, ia juga mengumpulkan artefak untuk ditampilkan di museum milik keluarganya, yang menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap budaya lokal.
Rasa penasaran Michael tentang Papua tak kunjung pudar. Ia memutuskan untuk kembali mengunjungi wilayah Asmat, dengan didampingi oleh pakar seni Belanda, Rene Wassing, serta dua pemandu lokal. Keberangkatan mereka dilakukan dengan menggunakan perahu menyusuri Sungai Betsj yang terkenal berarus deras dan dihuni banyak buaya.
Namun, petaka menimpa pada 18 November 1961. Perahu yang mereka tumpangi terbalik akibat badai mendatang. Dalam keadaan darurat, Michael berusaha berenang menuju daratan dengan jerigen kosong diikat di pinggangnya, berharap bisa mencari bantuan. Sayangnya, setelah Rene dan kedua pemandu berhasil selamat, Michael tak kunjung ditemukan.
Rene Wassing mengatakan, “Saya yakin dia tidak sampai ke daratan. Arus sungai sangat deras.” Ini menambah keraguan atas kemungkinan Michael selamat dari kecelakaan tersebut, mengingat kondisi alam yang sangat tidak bersahabat.
Kehilangan Michael menjadi perhatian serius bagi keluarganya. Nelson Rockefeller terbang langsung ke Papua untuk memantau pencarian yang melibatkan pemerintah AS dan Belanda. Namun, pencarian tersebut berhari-hari dilakukan tanpa hasil yang memuaskan. Michael dinyatakan hilang, tanpa sedikitpun jejak atau tubuhnya ditemukan.
Seiring berjalannya waktu, muncul berbagai teori mengenai apa yang mungkin terjadi pada Michael. Dalam bukunya yang berjudul Savage Harvest, jurnalis AS Carl Hoffman menyatakan bahwa ada kemungkinan Michael dibunuh dan dimakan oleh suku lokal. Meski begitu, teori ini belum pernah terbukti dan hanya menambah lapisan misteri pada kisah hilangnya Michael.
Teori lain menyebutkan bahwa ia mungkin tenggelam atau bahkan dimangsa oleh buaya yang banyak terdapat di sungai. Selain itu, beberapa spekulasi muncul bahwa Michael bisa saja memilih untuk menghilang dan hidup bersama dengan penduduk setempat, namun tak ada bukti konkrit untuk mendukung asumsi tersebut.
Pencarian dan Respon Keluarga Rockefeller
Pencarian Michael Rockefeller yang dilakukan oleh pemerintah AS dan Belanda melibatkan berbagai sumber daya dan tenaga. Banyak anggota tim melakukan upaya maksimal, tetapi hasilnya tetap nihil, menambah rasa frustrasi keluarga untuk mendapatkan kepastian tentang nasibnya. Langkah ini menunjukkan betapa pentingnya sosok Michael bagi keluarganya.
Nelson Rockefeller, sebagai ayah yang panik, tidak hanya berinvestasi dalam pencarian fisik, tetapi juga berusaha menjalin komunikasi dengan berbagai pihak di Papua. Ia berharap informasi baru dapat muncul yang dapat membantunya mengungkap misteri hilangnya sang putra. Meski demikian, harapan itu tampaknya semakin menipis seiring berjalannya waktu.
Keluarga Rockefeller dikenal sebagai salah satu keluarga terkemuka di Amerika, dan hilangnya Michael merupakan pukulan berat bagi mereka. Di tengah suasana duka, mereka tetap berupaya untuk tetap tenang dan berfokus pada pencarian agar duka ini tidak menjadi berlarut-larut. Berbagai cara dilakukan untuk menghubungi suku-suku lokal agar mereka dapat membantu dalam pencarian.
Teori yang Berkembang Seiring Waktu
Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu, teori mengenai hilangnya Michael Rockefeller semakin berkembang. Salah satu teori yang menarik adalah kemungkinan ia telah diselamatkan oleh suku setempat dan memilih untuk tinggal bersama mereka. Ini mengundang spekulasi bahwa ada aspek kehidupan yang lebih dalam yang ingin dijalani oleh Michael.
Pada saat yang sama, sisa-sisa mitos mengenai buaya yang memangsa Michael sangat kuat dalam berbagai diskusi. Masyarakat di sekitar kawasan tersebut sering kali mempercayai cerita horor tentang buaya besar yang mengintai, semakin memperkuat ketakutan dan ketidakpastian yang menyelimuti pencarian tersebut.
Pembicaraan tentang hilangnya Michael Rockefeller juga sering terulang dalam film dan buku, menarik perhatian generasi baru yang terpesona oleh misteri tersebut. Dengan demikian, kisah ini tampaknya tidak akan pernah kehilangan daya tariknya di kalangan penikmat sejarah dan petualangan, bahkan setelah enam dekade.
Misteri yang Terus Hidup di Ingatan Publik
Lebih dari 60 tahun setelah peristiwa tersebut, misteri tentang apa yang terjadi pada Michael Rockefeller masih membekas di benak banyak orang. Tangisan dan harapan keluarganya seakan terukir dalam sejarah, menyampaikan pesan kuat mengenai pentingnya menciptakan pengertian dan keseimbangan antara eksplorasi dan respek terhadap budaya lainnya.
Kisah ini juga berfungsi sebagai pengingat akan risiko yang dihadapi oleh para peneliti dan petualang yang menjelajahi daerah-daerah terpencil. Mereka sering kali dihadapkan pada batasan yang tidak hanya berasal dari alam tetapi juga dari kondisi sosial budaya setempat yang tidak selalu dipahami sepenuhnya.
Dari perjalanan Michael, muncul refleksi mendalam tentang bagaimana manusia berhubungan dengan lingkungan dan budaya lain. Hingga saat ini, hilangnya dia di Papua terus mengingatkan kita untuk selalu waspada dan menghormati setiap langkah eksplorasi yang kita ambil. Misteri ini membawa pengaruh besar tidak hanya bagi keluarga Rockefeller tetapi juga bagi dunia kajian antropologi.