Parade militer yang dilakukan oleh China pada bulan September lalu menjadi pusat perhatian dunia, terutama dikarenakan kehadiran sejumlah pemimpin internasional, termasuk Presiden Rusia dan pemimpin Korea Utara. Momen ini bukan hanya mencerminkan kekuatan militer, tetapi juga menggambarkan dinamika geopolitik yang kian kompleks di kawasan.
Salah satu sorotan yang mencolok datang dari mantan Presiden Amerika Serikat yang mencurigai adanya kolusi antara negara-negara tersebut. Dia menyampaikan komentar yang menunjukkan kekhawatiran yang mendalam terkait dengan pergerakan China dan Rusia yang dianggap menantang dominasi AS di panggung internasional.
Melihat kembali sejarah, kunjungan Presiden Soekarno ke China pada tahun 1956 menjadi cermin bagaimana hubungan internasional sering kali dipengaruhi oleh konteks geopolitik dan ideologi. Ketika itu, Indonesia berada dalam posisi strategis antara kekuatan liberal Barat dan blok komunis yang dipimpin Uni Soviet.
Pentingnya Kunjungan Soekarno ke China pada 1956
Kunjungan ini berlangsung pada tanggal 30 September 1956 dan menjadi salah satu titik krusial dalam hubungan kedua negara. Resepsi hangat yang diterima Soekarno mencerminkan harapan China untuk meningkatkan hubungan dengan Indonesia, yang pada saat itu berada dalam ketidakpastian politik akibat Perang Dingin.
Dalam kunjungan tersebut, Soekarno disambut oleh pemimpin besar China, Mao Zedong dan Zhou Enlai, yang terlihat antusias dalam menyambut kedatangan orang nomor satu Indonesia. Pemimpin Indonesia itu diarak dengan mobil terbuka melewati jalan-jalan Beijing, mendapatkan sambutan luar biasa dari rakyat China yang berbaris di sepanjang jalan.
Hal ini tentu menarik perhatian banyak pihak, termasuk Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA), yang sangat mengawasi setiap langkah Soekarno. Pada tahun 2003, dokumen rahasia CIA yang diungkapkan mengindikasikan bahwa mereka mengambil perhatian serius terhadap kunjungan ini, memahami bahwa Indonesia berada di tengah-tengah pertarungan pengaruh antara Amerika dan komunis.
Pengawasan CIA dan Reaksi Soekarno
Pengawasan CIA selama kunjungan Soekarno sangat rinci, mencakup catatan tentang perjalanan dan pidatonya di berbagai kota di China. Hal tersebut menunjukkan bagaimana Indonesia dianggap sebagai objek penting dalam perhitungan geostratgis, terutama dalam konteks Perang Dingin.
Soekarno tidak hanya menyampaikan sambutan hangat terhadap rakyat China, tetapi dia juga dengan tegas mendukung klaim China atas Taiwan. Hal ini menjadi sorotan dan dianggap berbahaya oleh AS, mengingat Taiwan adalah isu sensitif dalam hubungan internasional saat itu.
Dalam autobiografinya, Soekarno mengungkapkan kesadarannya bahwa setiap gerakannya diperhatikan oleh AS. Dia mengisyaratkan bahwa langkah-langkah diplomatiknya menuju Beijing dan Moskow dianggap sebagai sebuah kesalahan besar oleh pihak Amerika.
Dampak Kunjungan Terhadap Hubungan Indonesia-China
Setelah kunjungan tersebut, hubungan antara Indonesia dan China menunjukkan tren yang semakin mendekat. Soekarno menganggap bahwa hubungan kedua negara sudah terjalin lama, dan keberlanjutan kerja sama sangat penting untuk menghadapi tantangan yang ada.
Kedekatan ini menciptakan apa yang dikenal sebagai Poros Jakarta-Peking-Pyongyang, yang memperlihatkan upaya Indonesia untuk mengimbangi pengaruh AS di kawasan. Namun, perkembangan ini tidak mulus seiring dengan lengsernya Soekarno dan kedatangan rezim baru di bawah Soeharto.
Dengan perubahan kepemimpinan, kebijakan luar negeri Indonesia terhadap China mengalami perubahan drastis. Soeharto mengambil langkah untuk mengisolasi China, akibat dari tuduhan komunis yang sudah mengakar. Hubungan diplomatik keduanya baru terjalin kembali pada awal 1990-an, menandai babak baru dalam sejarah hubungan bilateral.